Diskusi 7
Sistem Pendidikan Nasional
Materi Inisiasi 7.1
Materi Inisiasi 7.2
Materi Inisiasi 7.3
Materi Inisiasi 7.4
Materi Inisiasi 7.5
Permasalahan 1
Masalah pokok yang dihadapi oleh sistem pendidikan nasional kita adalah kaitannya dengan aspek pemerataan pendidikan, permasalahan mutu, aspek efisiensi dan efektivitas pendidikan. Diskusikan permasalahan tersebut dan beri solusi menghadapi masalah tersebut ?
Permasalahan 2
Rendahnya pemerataan pendidikan merupakan salah satu masalah pokok sistem pendidikan. Diskusikan faktor yang menyebabkan sulitnya pemerataan pendidikan dan bagaimana mengatasi masalah tersebut?
Jawaban :
Permasalahan 1
Sistem pendidikan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sosial budaya dan masyarakat sebagai suprasistem. Pembangunan sistem pendidikan tidak mempunyai arti apa-apa jika tidak sinkron dengan pembangunan nasional. Kaitan yang erat antara bidang pendidikan sebagai sistem dengan sosial budaya sebagai suprasistem tersebut dimana sistem pendidikan menjadi bagiannya, menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga permasalahan intern sistem pendidikan itu menjadi sangat kompleks. Arrtinya, suatu permasalahan intern (dalam) sistem pendidikan selalu ada kaitannya dengan masalah-masalah di luar sistem pendidikan itu sendiri.
Berdasarkan kenyataan tersebut maka penanggulangan masalah pendidikan juga sangat kompleks, menyangkut banyak komponen, dan melibatkan banyak pihak. Berikut ini akan dibahas enam permasalahan pokok pendidikan, antara lain: Kuantitas (pemerataan pendidikan), Kualitas (mutu pendidikann), Efisiensi, Efektivitas, Relevansi, dan Tenaga pendidik & tenaga kependidikan.
Permasalahan Pokok Pendidikan
a. Kuantitas (Pemerataan Pendidikan)
Permasalahan kuantitas adalah persoalan bagaimana sistem pendidikan dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh warga negara untuk memperoleh pendidikan, sehingga pendidikan itu menjadi wahana bagi pembangunan sumber daya manusia untuk menunjang pembangunan nasional.
Permasalahan kuantitas dapat terjadi karena kurang tergorganisirnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, bahkan hingga daerah terpencil sekalipun. Hal ini menyebabkan terputusnya komunikasi antara pemerintah pusat dengan daerah. Selain itu permasalahan kuantitas pendidikan juga terjadi karena kurang berdayanya suatu lembaga pendidikan untuk melakukan proses pendidikan, hal ini bisa saja terjadi jika kontrol pendidikan yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah tidak menjangkau daerah-daerah terpencil. Jadi hal ini akan mengakibatkan mayoritas penduduk Indonesia yang dalam usia sekolah, tidak dapat mengenyam pelaksanaan pendidikan sebagaimana yang diharapkan.
Jadi dapat disimpulkan, permasalahan kuantitas ini timbul apabila masih banyak warga negara khususnya anak usia sekolah yang tidak dapat ditampung di dalam sistem atau lembaga pendidikan karena kurangnya fasilitas pendidikan yang tersedia. Pada masa awalnya, permasalahan kuantitas ini telah dinyatakan dalam UU No.4 Tahun 1950 sebagai dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Pada Bab XI Pasal 17 berbunyi:
“Tiap-tiap warga negara Republik Indonesia mempunyai hak yang sama untuk diterima menjadi murid suatu sekolah jika syarat-syarat yang sama diterapkan untuk pendidikan dan pengajaran pada sekolah itu dipenuhi.”
Selanjutnya dalam kaitannya dengan wajib belajar Bab VI, Pasal 10 Ayat 1 menyatakan: “Semua anak yang sudah berumur 6 tahun telah berhak dan yang sudah berumur 8 tahun diwajibkan belajar di sekolah, sedikitnya 6 tahun lamanya. Ayat 2 menambahkan: “Belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari menteri agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar.” Landasan yuridis kuantitas pendidikan tersebut penting sekali, karena sebagai landasan pelaksanaan upaya pemerataan pendidikan guna mengejar ketinggalan kita akibat penjajahan.
Masalah pemerataan memperoleh pendidikan dipandang penting anak-anak usia sekolah memperoleh kesempatan belajar pada SD, maka mereka memilki bekal dasar berupa kemampuan membaca, menulis, dan berhitung sehingga mereka dapat mengikuti perkembangan kemajuan melalui berbagai media massa dan sumber berajar yang tersedia baik mereka itu nantinya berperan sebagai produsen maupun konsumen. Dengan demikian mereka tidak terbelakang dan menjadi penghambat derap pembangunan.
Di bawah ini merupakan kondisi pemetaan pendidikan anak usia 13 – 15 tahun pada tahun 2004 secara umum:
- Angka Partisipasi Kasar (APK) SLTP adalah sebesar 77,4% dan Angka Partisipasi Murni (APM) nya sebesar 59.18%. Sehingga anak usia 13 – 15 tahun yang belum tertampung pada tahun 2004 adalah sebesar 22,56% atau sebanyak 2.9 juta anak dari 12.775.026 anak.
- Data lapangan juga menunjukkan fakta tentang menurunnya kemampuan orang tua siswa terutama dari kelas bawah dalam membiayai pendidikan.
- Masuknya anak usia sekolah pada berbagai lapangan kerja dan terpaksa putus sekolah.
- Pada daerah-daerah sulit dan terpencil pelayanan pendidikan masih sangat kurang, dan lemahnya kondisi ekonomi sebagian warga masyarakat mengkibatkan anak anak mereka kurang mendapat kesempatan pendidikan. (Kebijakan Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, Depdiknas Tahun 2004)
Khusus untuk pendidikan formal atau pendidikan persekolahan yang berjenjang dan tiap–tiap jenjang memiliki fungsinya masing–masing maupun kebijakan memperoleh kesempatan pendidikan pada tiap jenjang itu diatur dengan memperhitungkan faktor-faktor kuantitatif dan kualitatif serta relevansi yang selalu ditentukan proyeksinya secara terus menerus dengan seksama.
Pada jenjang pendidikan dasar, kebijaksanaan penyediaan memperoleh kesempatan pendidikan didasarkan atas pertimbangan faktor kuantitatif, karena kepada seluruh warga negara perlu diberikan bekal dasar yang sama. Sedangkan pada jenjang pendidikan menengah terutama pendidikan tinggi, kebijakan pemerataan didasarkan atas pertimbangan kualitatif dan relevansi, yaitu minat dan kemampuan anak, keperluan tenaga kerja, dan keperluan pengembangan masyarakat, kebudayaan dan IPTEK.
Perkembangan upaya pemerataan pendidikan berlangsung terus menerus dari pelita ke pelita. Dari Pelita III sampai dengan Pelita V landasannya sudah dipancang dalam Tap MPR dan ketetapan lainnya. Dalam Pelita III, titik berat diletakkan pada perluasan pendidikan khususnya pada tingkat SD. Dalam Pelita IV, titik berat diletakkan pada peningkatan mutu dan perluasan pendidikan dasar serta perluasan kesempatan belajar pada tingkat pendidikan menengah (Tap MPR RI No. II/MPR/1983), kemudian pada Pelita V titik berat pembangunan pendidikan diletakkan pada peningkatan mutu setiap jenjang dan jenis pendidikan serta perluasan kesempatan belajar pada jenjang pendidikan menengah dalam rangka perluasan wajib belajar untuk pendidikan menengah tingkat pertama (Tap MPR RI No. II/MPR/1988).
Khusus melalui jalur pendidikan luar sekolah, usaha pemerataan pendidikan mengalami perkembangan pesat. Ada dua faktor yang menunjang yaitu perkembangan IPTEK yang menawarkan berbagai macam alternatif, dan dianutnya konsep pendidikan sepanjang hidup yang tidak membatasi pendidikan hanya sampai usia tertentu dan tidak terbatas hanya pada penyediaan sekolah. Perkembangan IPTEK menawarkan beraneka ragam alternatif model pendidikan yang dapat memperluas pelayanan kesempatan belajar. Dilihat dari segi waktu belajarnya bervariasi mulai dari beberapa jam, hari, minggu, bulan bulan, sampai tahunan; melalui proses tatap muka, melalui media massa ataupun jarak jau; isinya dapat berupa paket terbatas ataupun sejumlah paket; sumber belajarnya manusia, barang cetak/elektronik, sampai pada lingkungan alam.
Pemecahan Permasalahan Kuantitas Pendidikan
Banyak macam pemecahan rnasalah yang telah dan sedang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan pemerataan pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, langkah-langkah ditempuh melalui cara konvensional dan cara inovatif.
Cara konvensional antara lain:
- Membangun gedung sekolah seperti SD Inpres dan atau ruangan belajar.
- Menggunakan gedung sekolah untuk double shift (sistem bergantian pagi dan sore).
- Sistem pamong (pendidikan oleh orang tua, masyarakat, dan guru) atau Inpacts system (Instructionar Management by parent, community and teacher). Sistem tersebut dirintis di solo dan didiseminasikan ke beberapa provinsi.
- SD kecil pada daerah terpencil.
- Sistem Guru Kunjung.
- SMP Terbuka (ISOSA - In School Out off School Approach),
- Kejar Paket A dan B.
- Belajar Jarak Jauh, seperti Universitas Terbuka.
b. Kualitas (Mutu Pendidikan)
Tentang persoalan kualitas sudah terlalu sering dinyatakan bagaimana rendahnya kualitas pendidikan di negeri ini dibanding dengan negara negara se-ASEAN sekalipun. Tentang persoalan kualitas sudah sering dikomunikasikan bahwa menurut “Human Development Indexs Report 1999”, kualitas pendidikan Indonesia berada pada urutan ke 105 (dari kurang lebih 180 negara), jauh di bawah Singapura (22), Brunei Darussalam (25), Malaysia (56) Thailand (67), Filipina (77), dan bahkan Srilanka (90). Laporan itu menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia memang relatif rendah.
Kualitas sama halnya dengan memiliki mutu dan bobot. Jadi pendidikan yang berkualitas yaitu pelaksanaan pendidikan yang dapat menghsilkan tenaga profesional sesuai dengan kebutuhan negara dan bangsa pada saat ini. Sejalan dengan proses pemerataan pendidikan, peningkatan kualitas untuk setiap jenjang pendidikan melalui persekolahan juga dilaksanakan. Peningkatan kualitas ini diarahkan kepada peningkatan kualitas masukan dan lulusan, proses, guru, sarana dan prasarana, dan anggaran yang digunakan untuk menjalankan pendidikan.
Kualitas pendidikan dipermasalahkan jika hasil pendidikan belum mencapai taraf seperti yang diharapkan. Penetapan kualitas hasil pendidikan pertama dilakukan oleh lembaga penghasil sebagai produsen tenaga terhadap calon keluaran, dengan sistem sertifikasi. Selanjutnya jika keluaran tersebut terjun ke lapangan kerja penilaian dilakukan oleh lembaga pemakai sebagai konsumen tenaga dengan sistem tes unjuk kerja (performance test).
Jadi kualitas pendidikan pada akhirnya dilihat pada kualitas keluarannya. Jika tujuan pendidikan nasional dijadikan kriteria, maka pertanyaannya adalah: Apakah keluaran dari suatu sistem pendidikan menjadikan pribadi yang bertakwa, mandiri dan berkarya, anggota masyarakat yang social dan bertanggung jawab, warga negara yang cinta kepada tanah air dan memiliki rasa kesetiakawanan sosial.
Meskipun disadari bahwa pada hakikatnya produk dengan ciri-ciri seperti itu tidak semata-rnata hasil dari sistem pendidikan sendiri. Tetapi jika terhadap produk seperti itu sistem pendidikan dianggap rnempunyai andil yang cukup, yang tetap menjadi persoalan ialah bahwa cara pengukuran kualitas/mutu produk tersebut tidak mudah. Berhubung dengan sulitnya pengukuran terhadap produk tersebut maka jika orang berbicara tentang kualitas/rnutu pendidikan, umumnya hanya mengasosiasikan dengan hasil belajar yang dikenal sebagai hasil UAS, UN, atau hasil-hasil Try Out, SNMPTN/SBMPTN, karena ini yang rnudah diukur. Hasil UAS dan lain-lain tersebut itu dipandang sebagai gambaran tentang hasil pendidikan.
Padahal hasil belajar yang berkualitas hanya mungkin dicapai melalui proses belajar yang berkualitas. Jika proses belajar tidak optimal sangat sulit diharapkan terjadinya hasil belajar yang berkualitas. Jika terjadi belajar yang ridak optimal menghasilkan skor hasil ujian yang baik maka hampir dapat dipastikan bahwa hasil belajar tersebut adalah ‘semu’. Ini berarti bahwa pokok permasalahan kualitas/mutu pendidikan lebih terletak pada masalah pemrosesan pendidikan.
Masalah kualitas pendidikan juga mencakup masalah pemerataan kualitas/mutu, Di dalam Tap MPR RI 1988 tentang GBHN dinyarakan bahwa titik berat pembangunan pendidikan diletakkan pada peningkatan kualitas/mutu setiap jenjang dan jenis pendidikan, dan dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan khususnya untuk memacu penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi perlu lebih disempurnakan dan ditingkatkan pengajaran ilmu pengetahuan alam dan matematika. (BP-7 Pusat. l989: 68). Umumnya kondisi kualitas pendidikan di seluruh tanah air menunjukkan bahwa di daerah pedesaan utamanya di daerah terpencil lebih rendah daripada di daerah perkotaan.
Pemecahan Masalah Kualitas Pendidikan
Meskipun untuk tiap-tiap jenis dan jenjang pendidikan memiliki kekhususan, namun pada dasarnya pemecahan masarah mutu pendidikan bersasaran pada perbaikan kualitas komponen pendidikan (utamanya komponen rnasukan mentah untuk jenjang pendidikan menengah dan tinggi, dan komponen masukan instrumental) serta mobilitas komponen-komponen tersebut.
Upaya pemecahan masalah mutu pendidikan daram garis besarnya meliputi hal-hal yang bersifat fisik dan perangkat lunak, personalia, dan manajemen sebagai berikut:
- Seleksi yang lebih rasional terhadap masukan mentah, khususnya untuk SLTA dan PT.
- Pengembangan kemampuan tenaga kependidikan melalui studi lanjut, misalnya berupa pelatihan, penataran, seminar, kegiatan-kegiatan kelompok studi seperti PKG dan lain-lain.
- Penyempurnaan kurikulum, misalnya dengan memberi materi yang lebih esensial dan mengandung, muatan lokal, metode yang menantang dan mengairahkan belajar, dan melaksanakan evaluasi yang ber-acuan, PAP.
- Pengembangan prasarana yang menciptakan lingkungan yang tentram untuk belajar.
- Penyempumaan sarana berajar seperti buku paket, media pembelajaran dan peralatan laboratorium.
- Peningkatan administrasi manajemen khususnya yang mengenai anggaran.
- Kegiatan pengendalian mutu yang berupa kegiatan-kegiatan :
- Laporan penyelenggaraan pendidikan oleh semua lembaga pendidikan.
- Supervisi dan Monitoring pendidikan dan penilik dan pengawas.
- Sistem ujian nasional / Negara seperti UAS, UN, atau SNMPTN.
- Akreditasi terhadap lembaga pendidikan untuk menetapkan status suatu lembaga.
c. Efisiensi
Permasalahan efisiensi pendidikan dipandang dari segi internal pendidikan. Maksud efisiensi adalah apabila sasaran dalam bidang pendidikan dapat dicapai secara efisien atau berdaya guna. Artinya pendidikan akan dapat memberikan hasil yang baik dengan tidak menghamburkan sumberdaya yang ada, seperti uang, waktu, tenaga dan sebagainya.
Masalah efisiensi pendidikan mempersoalkan bagaimana suatu sistem pendidikan mendayagunakan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan pendidikan. Jika penggunaannya hemat dan tepat sasaran dikatakan efisiennya tinggi. Jika terjadi yang sebaliknya, efisiensinya berarti rendah.
Beberapa masalah efisiensi pendidikan yang penting ialah:
a) Bagaimana tenaga kependidikan difungsikan. Meliputi: pengangkatan, penempatan, dan pengembangan tenaga.
- Masalah Pengangkatan terletak pada kesenjangan antara stok tenaga yang tersedia dengan jatah pengangkatan yang sangat terbatas. Sebab tenaga kependidikan khususnya guru bila tidak difungsikan, ia tidak siap untuk berwirausaha.
- Masalah penempatan guru, khususnya guru bidang penempatan studi sering mengalami kepincangan(tidak disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan) dan penempatan guru wanita. Misalnya di suatu sekolah guru bahasa harus mengajar IPA yang di luar kewenangannya karena guru bahasa di sekolah itu sudah cukup atau bahkan sudah kelebihan. Gejala tersebut membawa ketidak efisienan dalam memfungsikan tenaga guru.
- Masalah pengembangan tenaga kependidikan di lapangan, biasanya terlambat khususnya pada saat menyongsong hadirnya kurikulum baru. Karena setiap pembaruan kurikulum menuntut adanya penyesuaian dari para pelaksana di lapangan.
Penggunaan sarana dan prasarana yang tidak efisien bisa terjadi antara lain sebagai akibat kurang matangnya perencanaan dan sering juga karena perubahan kurikulum. Contoh gejala tidak adanya efisiensi dalam penggunaan sarana dan prasarana:
- Banyak gedung Inpres (yang mulai dilancarkan pembangunannya pada akhir Pelita II) dibangun pada lokasi yang tidak tepat, akibatnya banyak SD yang kekurangan murid atau yang ruang belajarnya kosong. Jika kondisi ini terjadi pada banyak kabupaten dan provinsi, maka terjadinya pemborosan tidak terelakkan. Sebab bangunan tidak dapat dipindahkan, lagi pula daya tahannya pun terbatas.
- Diadakannya dan didistribusikannya sarana pembelajaran tanpa dibarengi dengan pembekalan kemampuan, sikap dan keterampilan calon pemakai, ataupun tanpa dilandasi oleh konsep yang jelas.
d) Masalah efisiensi dalam memfungsikan tenaga.
Pemecahan Masalah Efiensi Pendidikan
- Tenaga pendidik harus benar-benar difungsikan dengan mengangkat dan menempatkan mereka memang pada bidang studi yang dikuasainya, agar tenaga pendidik merasa nyaman dengan bidang studi tersebut dan pelajaran yang diberikan tenaga pendidik tersebut dapat tersampaikan dengan baik kepada pelajar.
- Bila terdapat kurikulum baru, maka pemerintah harus secepat mungkin berkoordinasi dengan pelaksana di lapangan (Tenaga Pendidik), untuk menjelaskan sedetail-detailnya tentang kurikulum itu agar tidak menganggu jalannya pendidikan.
- Memberikan bantuan sarana dan prasarana pada sekolah-sekolah yang memang membutuhkan, agar sarana dan prasarana tersebut memang termanfaatkan dengan baik.
Masalah efektivitas ini berkenaan dengan hubungan antara hasil pendidikan yang dicapai dengan tujuan/sasaran pendidikan yang diharapkan yang tidak sesuai, atau dapat pula dikatakan perbandingan keduanya. Hal yang dibandingkan dapat berupa jumlah dan mutu. Oleh karena itu masalah efektivitas pendidikan dapat dibedakan dalam dua macam yaitu:
- Jumlah tamatan yang dihasilkan tidak sesuai dengan jumlah tamatan yang diharapkan. Perbandingan antara keduanya itu biasanya dinyatakan dengan persentase. Dengan kata lain, tingkat efektivitas sistem pendidikan dinyatakan dalam persentase. Misalnya tingkat efektivitas SMP di Indonesia tahun ajaran 1982/1983 adalah sebesar kurang lebih 85%, sedangkan tingkat efektivitas SMA di Indonesia untuk tahun ajaran 1982/1983 adalah kurang lebih 83%. Apabila sasaran pendidikan SMP dan SMA adalah 100%, maka sistem pendidikan SMP dan SMA termasuk kurang efektif.
- Kualitas/mutu pendidikan yang rendah (Mutu tamatan yang dihasilkan tidak sesuai dengan mutu tamatan yang diharapkan). Salah satu kriteria yang dapat dijadikan indikator atau petunjuk tenntang mutu pendidikan adalah tingkat serap, yaitu perbandingan antara hasil belajar yang dicapaidengan hasil belajar yang diharapkan. Tingkat serap dinyatakan dalam persentase. Contoh: Berdasarkan hasil TESMAS tahun ajaran 1981/1982 dapat diketahui tingkat serap rata-rata siswa SMP adalah 57,7%, sedangkan tingkat serap siswa SMA untuk jurusan IPA adalah 59,5%, jurusan IPS adalah 51,7%, dan jurusan bahasa 43,9%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat serap siswa belum mencapai tingkat serap yang diharapkan yaitu sebesar 75%. Artinya, tingkat serap siswa masih kurang memadai, dengan demikian kualitas/mutu pendidikan SMP/SMA masih kurang. Lain dari pada itu kualitas/mutu pendidikan dapat pula dilihat dari prestasi kerja yang dicapai, meskipun hal ini sangat sulit ditelusuri, karena prestasi kerja tidak tergantung semata-mata kepada hasil belajar di sekolah.
Pemecahan Masalah Efektivitas Pendidikan
- Dengan dilakukannya peningkatan kualitas tenaga pengajar. Jika kualitas tenaga pengajar baik, bukan tidak mungkin akan meghasilkan lulusan atau produk pendidikan yang siap untuk menghadapi dunia kerja.
- Dengan pemantauan penggunaan dana pendidikan. Pemantauan penggunaan dana pendidikan dapat mendukung pelaksanaan pendidikan yang efektif dan efisien. Kelebihan dana dalam pendidikan lebih mengakibatkan tindak kriminal korupsi dikalangan pejabat pendidikan.
- Dengan pelaksanaan pendidikan yang lebih terorganisir dengan baik. Ini juga dapat meningkatkan efektifitas pendidikan. Pelaksanaan kegiatan pendidikan seperti ini akan lebih bermanfaat dalam usaha penghematan waktu dan tenaga.
Relevansi artinya persesuaian antara hasil pendidikan yang dicapai terhadap keutuhan tenaga kerja. Masalah relevansi pendidikan mencakup sejauh mana sistem pendidikan dapat menghasilkan luaran yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan.
Persoalan relevansi pendidikan menyangkut bekal pendidikan dalam kaitannya dengan kepentingan peserta didik untuk (a) melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau (b) terjun ke dunia kerja. Sebuah paparan Direktorat PMK, Dikdasmen, Depdiknas Tahun 2003 menunjukkan bahwa sekitar 22,56% anak usia sekolah SLTP tak tertampung di sekolah yang ada, dan dalam jumlah yang agak lebih besar (61.85% lulusan SLTP yang tak tertampung di SMU minus yang ditampung di Sekolah Kejuruan) juga tak bersekolah. Sementara hampir 75% lulusan SMU tak melanjutkan ke perguran tinggi. Mereka ini, yang biasa disebut sebagai “yang tergelincir dari sistem pendidikan nasional” ternyata kemudian masuk ke dunia kerja.
Luaran pendidikan diharapkan dapat mengisi semua sektor pembangunan yang beraneka ragam seperti sektor produksi, sektor jasa, dan lain-lain. Sebenarnya kriteria relevansi seperti dinyatakan tersebut cukup ideal jika dikaitkan dengan kondisi sistem pendidikan pada umumnya dan gambaran tentang kerjaan yang ada.
Berikut ini adalah masalah-masalah relevansi pendidikan:
- Ketidak sesuaian antara jumlah tamatan dengan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan. Kedua-duanya menimbulkan masalah. Kelebihan tamatan dapat menimbulkan pengangguran, dan kekurangan dapat menimbulkan kemacetan dalam pembangunan. Angkatan kerja yang tidak terserap dalam dunia kerja saat ini sebagian besar tamatan pendidikan menengah. Hal ini antara lain berhubungan dengan tingkat keterampilan yang kurang pada mereka, dan juga arus tamatan pendidikan menengah yang tidak terserap di pendidikan tinggi masih cukup besar.
- Ketidak sesuaian keahlian tamatan dengan keahlian yang dibutuhkan dalam masyarakat untuk berbagai sektor. Ketidak sesuaian ini dapat berkenaan dengan kemampuan-kemampuan dasar yang diperlukan atau kecakapan-kecakapan teknis dalam melaksanakan sesuatu jenis pekerjaan.
Pemecahan Masalah Relevansi Pendidikan
- Meningkatkan kualitas tenaga pengajar di Indonesia. Karena dibanding negara berkembang lainnya, maka kualitas tenaga pengajar pendidikan di Indonesia memiliki masalah yang sangat mendasar.
- Dibutuhkanlah kerja sama antara lembaga pendidikan dengan berbagai organisasi masyarakat.
f. Tenaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Beberapa masalah tenaga pendidik dan tenaga kependidikan ialah:
- Pendidik bukan berasal dari lulusan yang sesuai. Maksudnya terkadang terdapat tenaga pendidik yang mengajar tidak sesuai dengan jurusannya. Contoh, pendidik yang merupakan lulusan metematika mengajar bahasa Indonesia. Hal ini secara tidak langsung akan menjadi masalah pendidikan di Indonesia. Padahal dalam PP NO.19 tahun 2005 tentang standar pendidik dan tenaga kependidikan pasal 28 ayat 2, dijelaskan bahwa pendidik harus sesuai dengan ijazah dan sertifikat keahlian yang relevan dengan perundang-undangan yang berlaku.
- Pendidik kurang menguasai dari 4 kompetensi yang harus dimiliki oleh pendidik maupun tenaga kependidikan sehingga hal ini menyebabkan adanya masalah kualitas pendidik dan tenaga kependidikan yang kurang baik. Dalam UU RI No.14 Tahun 2005 pasal 8 ayat dijelaskan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi yang salah satu diantaranya kompetensi, dan diperjelas dalam pasal 10 ayat 1 yang berbunyi: “kompetensi guru sebagai mana dalam pasal 8 meliputi kompetensi pedagogic, kepribadian, sosial dan professional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.” Selain itu juga dijelaskan dalam PP No.19 Tahun 2005 pasal 28 ayat 3 mengenai kompetensi yang harus dimiliki oleh pendidik.
- Pendidik terkadang menjadikan mengajar hanya untuk menggugurkan kewajiban sebagai pendidik, sehingga dia mengajar secara tidak maksimal. Hal ini tidak sesuai dengan PP No. 19 Tahun 2005 pasal 28 ayat 3 yang seharusnya pendidik memiliki kompetensi professional, yang mengharuskan pendidik wajib bertanggung jawab dengan tugas dan pembinaan terhadap peserta didik.
- Pendidik belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan masyarakat. Fenomena itu ditandai dari rendahnya mutu lulusan, penyelesaian masalah pendidikan yang tidak tuntas, bahkan lebih berorintasi proyek. Akibatnya, seringkali hasil pendidikan mengecewakan masyarakat. Mereka terus mempertanyakan relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dalam dinamika kehidupan ekonomi, politik , sosial, dan budaya.
- Pendidik mengajar tidak sesuai dengan silabus sehingga target dari tujuan pembelajaran tidak sepenuhnya tercapai. Hal ini tidak sesuai dengan kompetensi pedagogic yang harus dimiliki oleh guru sesuai dengan PP No.19 Tahun 2005 Pasal 28 ayat 3 yang berbunyi “Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi: Kompetensi pedagogic, Kompetensi kepribadian, Kompetensi professional dan Kompetensi sosial.”
- Masih banyak pendidik yang belum memenuhi ketentuan sesuai dengan PP No. 19 tahun 2005 seperti pengajar di tingkat SD/MI minimal berijazah S1/D4. Tapi dalam kenyataan di masyarakat masih terdapat pendidik yang belum berijazah D4 atau dengan kata lain masih D3.
- Tenaga kependidikan biasanya masih berasal dari tenaga pendidik yang merangkap tugas menjadi tenaga kependidikan seperti guru merangkap menjadi tenaga administrasi atau tenaga perpustakaan.
Permasalahan 2
Pemecahan Masalah Tenaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan
- Menempatkan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan pada bidang studi / keahliannya masing-masing, agar pengajaran yang diberikannya dapat efektif.
- Meningkatkan profesionalisme tenaga pendidik. Karena tidak ada gunanya kurikulum yang bagus apabila tidak tersedia tenaga pendidik yang profesional.
- Meningkatkan kualitas hidup ekonomi tenaga pendidik, karena seperti kita ketahui jabatan tenaga pendidik terutama guru adalah jabatan yang paling tidak disenangi di dalam masyarakat modern disebabkan karena penghargaan ekonominya relatif sangat kurang dibandingkan dengan profesi-profesi lainnya.
- Tenaga pendidik dan tenaga kependidikan harus menguasai 4 kompetensi (meliputi kompetensi pedagogic, kepribadian, sosial dan professional) yang memang harus dimiliki oleh setiap tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan, agar bisa menjadi tenaga pendidik dan kependidikan yang berkualitas.
Masalah – masalah Dalam Sistem Pendidikan Nasional
1. Rendahnya Pemerataan Pendidikan
Permasalahan tidak meratanya layanan yang dapat diberikan oleh dunia pendidikan merupakan faktor penting. Faktor pemerataan pendidikan, berarti faktor peluang setiap orang untuk mendapatkan haknya, yaitu mendapat pendidikan yang setinggi-tingginya dan dengan kualitas pendidikan yang sebaik-baiknya. Masalah tidak meratanya peluang untuk mendapatkan layanan pendidikan secara umum ditimbulkan oleh terus meningkatnya pertumbuhan penduduk yang tidak sebanding dengan daya tampung dan kapasitas layanan pendidikan tersebut. Di samping terus bertumbuhnya tingkat populasi juga terjadinya peningkatan pemahaman, kesadaran, dan persepsi sebagian besar masyarakat terhadap esensi pendidikan bagi kehidupan setiap orang
Implikasinya adalah semua komponen yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan mengalami kenaikan. Jumlah ruangan, guru, fasilitas sekolah, dan juga biaya-biaya lain untuk terjadinya proses penyelenggaraan pendidikan akan mengalami kenaikan. Besarnya ruang kelas yang awalnya hanya dapat memfasilitasi 30 orang peserta didik, harus ditingkatkan fasilitasnya agar mampu memberikan layanan pendidikan pada peserta didik yang jumlahnya bertambah, yaitu menjadi 40 orang. Apabila ruang kelas itu tidak ditingkatkan fasilitasnya baik kualitas maupun kuantitas maka sesuai dengan tingkat kemampuannya, secara alamiah akan terjadi penurunan kualitas layanan pada para peserta didik yang pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas keluaran pendidikan.
Permasalahan di atas semakin membesar ketika meningkatnya jumlah penduduk tersebut tidak diimbangi oleh peningkatan kualitas hidup masyarakat dan angka kecukupan gizi masih menjadi permasalahan utama, seperti terjadi pada sebagian besar kelompok masyarakat berpendapatan rendah.
Berikut beberapa cara yang bisa dijadikan sebagai solusi dalam pemerataan pendidikan di seluruh Indonesia :
- Pembangunan gedung sekolah secara merata. Seperti kita ketahui bersama, saat ini pembangunan gedung sekolahan yang selalu diutamakan adalah yang berada di perkotaan. Bangunan gedung sekolahan yang lama dilakukan rehabilitasi sehingga menelan biaya yang besar. Daripada dana tersebut digunakan untuk membiayai program rehabilitasi gedung yang sudah ada sebelumnya, alangkah bijaknya kalau dimanfaatkan atau dialihkan untuk pembangunan gedung sekolahan yang belum ada di setiap penjuru pelosok daerah. Sudah saatnya pembangunan gedung sekolahan dibuat merata tanpa membedakan mana yang berada di kota maupun mana yang berada di desa. Semua memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh fasilitas gedung sekolahan demi kenyamanan dalam belajar.
- Pembagian buku-buku pelajaran secara gratis. Buku adalah sumber ilmu, ketika pemerintah memberlakukan biaya setinggi-tingginya untuk harga sebuah buku, itu sama artinya dengan membatasi kemauan seseorang dalam membuka wawasan pengetahuan mereka. Pihak pemerintah harusnya menjalankan sebuah program pembagian buku secara gratis kepada seluruh anak-anak yang ada di Indonesia. Tentu saja program ini harus dibarengi dengan program minat baca buku. Karena kualitas minat baca di Indonesia masih tergolong sangat rendah. Hal ini lah yang menjadi penyebab mengapa negara Indonesia tidak maju dan berkembang. Melalui buku, Indonesia pasti bisa membuka wawasan dunia.
- Program pembagian peralatan sekolah secara gratis. Telah kita ketahui bersama bahwa masih banyak warga negara yang tidak mampu dalam memenuhi kebutuhan peralatan sekolah.Anak-anak sekolah di seluruh penjuru tanah air berhak mendapatkan fasilitas peralatan sekolah dari pemerintah secara gratis. Hal ini dimaksudkan untuk menunjang kegiatan belajar mereka, selain itu sebagai bentuk pemberian dukungan agar mereka lebih bersemangat dalam menuntut ilmu di sekolahan.
- Pemenuhan kebutuhan guru di berbagai pelosok daerah. Guru merupakan elemen penting dalam dunia pendidikan.Tanpa adanya guru yang berkualitas maka mustahil seorang anak dapat terdidik dengan baik.Ketika banyak guru honorer yang bekerja secara ikhlas di berbagai daerah,maka seharusnya pihak pemerintah tanggap dalam menyejahterakan kehidupan mereka yaitu dengan memberikan tunjangan guru sewajarnya.Hal ini perlu dilakukan agar guru dapat lebih bersemangat lagi dalam mendidik dan mengajar anak-anaknya.Bagi guru PNS yang sering melakukan pelanggaran kode etik pegawai,maka tidak ada salahnya untuk ditugaskan berdinas di pelosok daerah.Tentu saja hal ini dimaksutkan agar mereka lebih bertanggung jawab dalam mengemban tugasnya.
- Peningkatan fasilitas infrastruktur akses menuju sekolahan.Saat ini masih banyak kita jumpai anak-anak yang pergi bersekolah harus melewati berbagai medan jalan yang berbahaya bagi mereka.Tak jarang dari mereka yang pergi ke sekolah dengan menyeberangi sungai,berjalan di jembatan yang rapuh,hingga bergelantungan melalui pohon dan tebing yang curam.Dalam hal ini pihak pemerintah wajib menelusuri satu per satu kondisi akses jalan menuju sekolahan,sehingga tahu mana yang seharusnya diutamakan untuk pembangunan fasilitas infrastruktur akses menuju sekolahan.
2. Rendahnya Mutu Pendidikan
Rendahnya Mutu Pendidikan Pada kondisi rendahnya tingkat pelayanan pendidikan maka kualitas atau kompetensi yang dituntut oleh masyarakat pada lulusan pendidikan tidak akan dapat diraih. Pendidikan tidak sepenuhnya bermakna füngsional bagi kehidupan para lulusannya. Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah juga ditunjukkan salah satu data Balitbang (2003) bahwa 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya 8 sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP), dan masih banyak data lainnya yang menunjukkan kualitas pendidikan di Indonesia yang masih rendah.
Masalah rendahnya mutu layanan pendidikan pada sebagian besar masyarakat Indonesia, selain berdampak negatif pada prospek peningkatan kualitas SDM, juga menjadi beban tersendiri bagi masyarakat. Bagi masyarakat yang memiliki finansial cukup kuat dan ingin mendapatkan pendidikan berkualitas, mereka dapat memperolehnya di sekolah tertentu dengan harga yang relatif lebih mahal yang tidak terjangkau oleh masyarakat pada umumnya. Dengan demikian, pendidikan yang berkualitas hanya dapat dijangkau oleh sekelompok elit masyarakat yang memiliki kemampuan secara finansial. Akhirnya, terjadi disparitas kualitas pendidikan antara sekelompok kecil masyarakat yang cenderung elit, dengan pendidikan yang didapat oleh sebagian besar masyarakat pada umumnya. Dampak dari pendidikan yang tidak berkualitas tersebut diantaranya adalah rendahnya tingkat relevansi antara kualitas hasil belajar siswa dengan tuntutan kebutuhan masyarakat.
3. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Tuntutan Masyarakat
Rendahnya mutu pendidikan dapat berakibat pada rendahnya relevansi hasil pendidikan dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Rendahnya relevansi pendidikan ini diantaranya dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur, tidak dapat menciptakan pekerjaan atau tidak diserap oleh dunia kerja.
Faktor – faktor yang berkaitan dengan rendahnya relevansi adalah :
a) Rendahnya kemampuan menguasai life skill yang relevan
Para siswa lulusan sekolah umumnya belum memiliki tingkat kecerdasan yang sesuai tuntutan kerja, belum memiliki pengetahuan dan kepribadian akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
Setiap tahunnya muncul sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang fungsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan peserta didik ketika memasuki dunia kerja.
b) Rendahnya relevansi pendidikan dengan potensi daerah
Hasil belajar peserta didik dipengaruhi oleh lingkungan. Komponen lingkungan hendaknya dimanfaatkan sebagai aset yang menentukan keberhasilan pendidikan. Masyarakat dan lingkungan tempat tinggal merupakan bagian yang terintegrasi dengan siswa sebagai peserta didik. Proses pendidikan yang sebenarnya tentu melibatkan peranan keluarga, lingkungan-masyarakat, dan sekolah. Sehingga jika salah satunya tidak berjalan dengan baik maka dapat mernpengaruhi keberlangsungan pendidikan itu sendiri. Selama ini proses pendidikan cenderung tidak memperhatikan potensi lingkungan ini. Akibatnya, lulusan pendidikan tidak memahami potensi daerah tempat tinggalnya. Dengan tidak memiliki pemahaman yang memadai maka siswa tidak dapat memanfaatkan potensi daerahnya sebagai salah satu fokus pembelajarannya. Akhirnya, siswa tidak memiliki kepekaan yang cukup memadai dan tidak dapat menganalisa berbagai kemungkinan yang dapat menjadikannya lebih cermat dan lebih peduli pada lingkungannya.
c) Rendahnya kemitraan dengan dunia usaha / dunia industry
Dunia usaha dan dunia industri merupakan bagian dari masyarakat yang merniliki peranan penting dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Perihal kegiatan kerja sama dengan dunia usaha sinergitas telah mulai dilakukan. Prosesnya telah memasuki tahap inventarisasi. Implementasinya, dunia usaha didorong untuk membangun sekolah, bukan menggalang dana dari dunia usaha (www.bapeda-jabar.go.id/2006). Masalah adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang fungsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
4. Rendahnya Efektivitas Pendidikan
Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat rneningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat memiliki nilai fungsionalitas yang tinggi pada peserta didik. Efektivitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu "goal" apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah terpenting jika kita menginginkan efektivitas pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak mengetahui apa tujuan kita. Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak peduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektivitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan di bidangnya masing-masing dan diharapkan dapat memiliki pendidikan sesuai bakat dan minatnya. Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan di bidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektivitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal seperti itulah yang banyak terjadi di Indonesia.
5. Rendahnya Efisiensi Pendidikan
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektivitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih 'murah'. Dalarn proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati. Beberapa masalah efisiensi pengajaran di Indonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pengajar, dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.
No. | Materi | Type File | Link Download |
---|---|---|---|
1.
|
Inisiasi 7.1 |
PPT
|
|
2.
|
Inisiasi 7.2 |
PPT
|
|
3.
| Inisiasi 7.3 | PPT | Link 3 |
4.
|
Inisiasi 7.4 |
You Tube
|
|
5.
|
Inisiasi 7.5 |
You Tube
|
|
6.
| Diskusi 7 | Link 6 | |
7.
|
Tugas 3 |
Pdf
|
0 comments:
Post a Comment